Memimpin Sekolah dengan Jiwa Merdeka

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal wewenang, melainkan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Memimpin sekolah bukanlah sekadar mengurus administrasi, menyusun program, atau mengejar target angka. Kepemimpinan pendidikan yang sejati lahir dari hati, tumbuh dalam keikhlasan, dan bergerak untuk memerdekakan. Jiwa merdeka dalam kepemimpinan berarti memberi ruang bagi guru dan murid untuk tumbuh sesuai fitrahnya, sambil tetap berpijak pada visi konstitusi dan kebijakan pendidikan nasional.

Seorang pemimpin sekolah berjiwa merdeka adalah penyambung amanat UUD 1945 yang menegaskan pendidikan sebagai jalan mencerdaskan bangsa sekaligus membentuk manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Artinya, kebijakan negara tidak berhenti sebagai dokumen, melainkan hidup dalam denyut kehidupan sekolah sehari-hari—dari ruang kelas hingga halaman masjid tempat anak-anak berdoa dan bermain.

Kepemimpinan dengan jiwa merdeka terwujud dalam hal-hal sederhana: menyapa guru dan siswa setiap pagi, menjadi teladan dalam ibadah, membuka ruang komunikasi yang jujur, serta mendorong kreativitas pembelajaran. Dari sapaan lahir motivasi, dari teladan tumbuh disiplin, dari komunikasi lahir kepercayaan, dan dari kreativitas muncul inovasi. Empat hal ini adalah energi yang menghidupkan sekolah sebagai rumah belajar bersama.

Lebih dari itu, kepemimpinan merdeka juga hadir dalam ritme spiritual dan sosial yang konsisten. Salat duha di pagi hari, makan siang bersama lalu ditutup dengan salat zuhur berjamaah, hingga sore yang dipenuhi doa dan wirid, semuanya bukan sekadar rutinitas. Ia adalah laboratorium kehidupan, tempat anak-anak belajar arti kebersamaan, tanggung jawab, dan cinta ilmu dalam suasana penuh kasih.

Model seperti ini diterapkan di Sekolah Dasar Al-Qur’an (SDQ) Amirul Mukminin, yang berdiri pada 3 April 2020. Sekolah ini menghidupkan tujuh pilar: salat berjamaah, tafaqquh fid din, sedekah harian, dakwah digital, serikat dagang, STEM, dan bilingual. Pilar-pilar tersebut menjadi fondasi pendidikan integral yang menyeimbangkan iman, ilmu, keterampilan, dan kepekaan sosial.

Dalam praktiknya, guru-guru di SDQ menunjukkan Organizational Citizenship Behavior (OCB): kesediaan bekerja melampaui kewajiban formal demi keberhasilan bersama. Mereka tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga menjadi teladan akhlak, mendampingi anak berwirausaha kecil, hingga mendorong murid mengekspresikan diri dalam bahasa asing dan teknologi digital.

Hasilnya tampak jelas. Prestasi murid tidak lagi semata-mata diukur lewat angka di rapor, tetapi melalui tiga dimensi utama: karakter yang kuat, pengetahuan yang luas, dan keterampilan yang terasah. Anak-anak belajar menolong sesama lewat sedekah harian, berpikir kritis lewat pembelajaran STEM, berkomunikasi dalam dua bahasa, sekaligus tetap berakar pada nilai spiritual yang membimbing mereka.

Memimpin dengan jiwa merdeka pada akhirnya adalah seni membebaskan. Membebaskan guru dari rasa takut berinovasi, membebaskan murid dari beban belajar yang kering, dan membebaskan sekolah dari rutinitas tanpa makna. Jiwa merdeka menghadirkan pendidikan yang menggembirakan sekaligus membentuk generasi berkarakter, cerdas, dan mandiri.

Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara, tugas pemimpin pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Kepemimpinan dengan jiwa merdeka adalah wujud nyata dari tuntunan itu—sebuah jalan yang menyalakan harapan akan lahirnya manusia merdeka, berilmu, dan berbudi luhur.

Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Dekan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pendiri SDQ Amirul Mukminin & Dewan Penasihat IDRI Banten

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *