Qou Vadis Dosen sebagai Intelektual Tradisional atau Organik?

Oleh: Achmad Rozi El Eroy

Ketua IDRI Banten & Dosen Tetap FEB Universitas Primagraha

idribanten.news — Peran dosen dalam ekosistem pendidikan tinggi tidak hanya terbatas pada proses transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Tulisan  ini sedikit akan membahas posisi dosen dalam konteks teori intelektual organik Antonio Gramsci, yang menekankan pentingnya keterlibatan kaum intelektual dalam dinamika sosial dan perjuangan rakyat. Dalam era digital dan disrupsi teknologi, dosen dituntut untuk bertransformasi dari peran tradisional sebagai pengajar dan peneliti menjadi akselerator perubahan sosial dan penggerak kemajuan bangsa. Tulisan ini juga menguraikan peluang serta tantangan yang dihadapi dosen dalam mewujudkan peran tersebut, termasuk dampak teknologi, komersialisasi pendidikan, dan krisis integritas akademik.

Dalam dinamika sosial kontemporer, peran dosen mengalami pergeseran mendasar. Dosen tidak lagi hanya diartikan sebagai pendidik yang mentransfer ilmu pengetahuan di ruang kelas, tetapi juga sebagai agen perubahan dan penjaga nurani publik. Pergeseran ini sejalan dengan konsep intelektual organik yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1971), yang menyatakan bahwa kaum intelektual sejati bukanlah mereka yang hidup dalam isolasi akademik, melainkan mereka yang menyatu dengan realitas sosial dan aktif memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, posisi dosen sebagai intelektual sangat strategis. Sebagaimana dinyatakan dalam UU Guru dan Dosen, bahwa seorang Dosen adalah sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.  Mereka memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan, jaringan sosial, dan ruang pengaruh yang luas melalui pendidikan tinggi. Namun, di tengah era disrupsi digital — ketika teknologi, informasi, dan nilai-nilai sosial berubah dengan cepat — peran dosen sebagai intelektual organik menjadi semakin krusial. Dosen ditantang untuk tidak hanya menjadi pengajar yang kompeten, tetapi juga menjadi penggerak literasi, moralitas, dan inovasi sosial yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Dosen sebagai Intelektual Tradisional dan Organik

Dalam kerangka Gramsci, intelektual tradisional adalah mereka yang melihat dirinya sebagai entitas netral, terpisah dari dinamika sosial dan politik. Mereka menjaga otonomi intelektual, tetapi sering kali gagal berkontribusi secara langsung terhadap perubahan sosial (Gramsci, 1971). Sebaliknya, intelektual organik adalah individu yang lahir dari dan bekerja untuk kelas atau kelompok sosial tertentu, serta berperan aktif dalam membangun kesadaran kolektif dan arah perubahan sosial.

Jika dilihat dalam konteks dunia pendidikan tinggi di Indonesia, sebagian besar dosen masih berada dalam kategori intelektual tradisional. Mereka sibuk dengan publikasi ilmiah, akreditasi, dan kenaikan pangkat, namun kerap jauh dari persoalan nyata masyarakat. Fenomena ini menciptakan jurang antara dunia kampus dan dunia sosial — antara teori dan praktik, antara pengetahuan dan keadilan sosial.

Namun demikian, muncul pula kelompok dosen yang mampu mentransformasi dirinya menjadi intelektual organik. Mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga mendampingi masyarakat, mengembangkan inovasi berbasis kebutuhan lokal, serta mendorong kesadaran kritis mahasiswa terhadap realitas sosial. Dosen dalam kategori ini menjadikan ruang akademik sebagai sarana pemberdayaan, bukan sekadar karier.

Peluang di Era Digital dan Disrupsi

Era digital membuka peluang besar bagi dosen untuk memperluas pengaruh sosialnya. Pertama, kemajuan teknologi informasi memungkinkan penyebaran ilmu pengetahuan secara lebih luas dan cepat. Melalui media sosial, massive open online courses (MOOCs), atau kanal YouTube edukatif, dosen dapat menjangkau audiens yang jauh melampaui ruang kelas tradisional.

Kedua, digitalisasi membuka ruang kolaborasi lintas disiplin dan lintas wilayah. Dosen dapat bekerja sama dengan komunitas, pemerintah daerah, dan dunia industri untuk menciptakan solusi inovatif berbasis riset dan teknologi. Dalam hal ini, dosen menjadi knowledge broker — penghubung antara pengetahuan akademik dan kebutuhan praktis masyarakat.

Ketiga, peluang lainnya adalah transformasi gaya belajar generasi muda. Mahasiswa kini tumbuh dalam ekosistem digital yang menuntut interaksi cepat, kreatif, dan kolaboratif. Dosen yang adaptif terhadap teknologi memiliki kesempatan untuk menjadi fasilitator pembelajaran yang relevan dan inspiratif, sekaligus membentuk mahasiswa sebagai intelektual muda organik yang peduli terhadap isu-isu sosial.

Tiga Tantangan yang dihadapi Dosen

Namun, tiga peluang besar tersebut diiringi oleh tantangan yang juga tidak ringan. Pertama, komersialisasi pendidikan tinggi telah mendorong sebagian kampus dan dosen untuk lebih fokus pada pencapaian administratif ketimbang kontribusi sosial. Dosen terjebak pada logika publish or perish, di mana publikasi menjadi ukuran tunggal keberhasilan akademik, sementara dampak sosial dari penelitian sering kali terabaikan.

Kedua, banjir informasi di era digital menimbulkan tantangan baru terhadap otoritas pengetahuan. Di tengah arus disinformasi dan konten instan, peran dosen sebagai penjaga rasionalitas dan kebenaran ilmiah menjadi semakin penting — namun juga semakin berat.

Ketiga, krisis integritas akademik menjadi ancaman serius. Praktik plagiarisme, manipulasi data, dan ketidakjujuran ilmiah dapat menurunkan kredibilitas akademisi di mata publik. Dalam konteks ini, menjadi intelektual organik berarti juga menjaga etika, integritas, dan keberpihakan terhadap kebenaran, bukan sekadar prestasi akademik.

Peran Dosen sebagai Akselerator Kemajuan Bangsa

Sebagai intelektual organik, dosen diharapkan menjadi akselerator kemajuan bangsa. Mereka tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kritis, etika sosial, dan semangat kebangsaan pada mahasiswa. Perguruan tinggi harus menjadi pusat lahirnya pemikir dan inovator yang mampu menjawab tantangan zaman.

Selain itu, dosen juga dapat berperan sebagai mediator perubahan sosial, menjembatani kepentingan akademik dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengabdian masyarakat seharusnya diarahkan untuk menciptakan solusi nyata bagi persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, dosen tidak hanya menjadi aktor akademik, tetapi juga pelaku transformasi sosial.

Penutup

Dosen di era disrupsi digital dituntut untuk melampaui batas-batas tradisional akademik. Mereka perlu mengintegrasikan peran ilmuwan, pendidik, dan pejuang sosial dalam satu kesatuan utuh. Menjadi intelektual organik berarti menjadikan pengetahuan sebagai alat pembebasan, bukan sekadar komoditas akademik.

Tantangan globalisasi dan digitalisasi menuntut dosen untuk terus beradaptasi, berinovasi, dan berkolaborasi. Hanya dengan demikian, dosen Indonesia dapat memainkan peran sejatinya — sebagai penjaga nalar publik dan penggerak kemajuan bangsa.[*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *