Oleh: Endang Yusro (Kepala SMA MUHAMMADIYAH Kota Serang)
“Janganlah kalian memujiku hingga melampaui batas sebagaimana orang-orang Nasrani melampaui batas di dalam memuji Isa ibnu Maryam a.s., karena aku hanyalah hamba Allah SWT. dan Rasul-Nya.”
(H.R. Bukhari, Imam Ahmad, dan ath-Thayalisi)
Rasulullah S.a.w. menyeru kepada umatnya supaya jangan berlebih-lebihan dalam memberikan penghormatan kepadanya, seperti bunyi hadis di atas.
Dalam hadis lain dikisahkan, seorang laki-laki menyeru Rasulullah S.a.w. dengan panggilan, “Wahai junjungan dan anak junjungan kami! Wahai orang mulia dan anak dari orang mulia kami!” Kemudian Rasulullah S.a.w. pun bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Seru-lah (aku) dengan perkataan yang kalian kenal (seperti halnya kalian mengatakannya dalam tasyahud dalam shalat). Dan jangan sampai syaitan menundukkan kalian untuk mengikuti hawa nafsu. Aku adalah Muhammad anak dari Abdullah, dan Rasul Allah. Sungguh, saya tak suka kalian mengangkatku melebihi derajat yang diberikan Allah S.W.T padaku.” (H.R. Imam Ahmad).
Demikian, penulis mengacu pada dua hadis di atas sebagai rujukan pada tulisan ini, Muludan dalam Perspektif Tasawuf. Muludan (bahasa Jawa) asal kata Walada, Yalidu, Maulidan (bahasa Arab) yang berarti hari lahir, maksudnya peringatan hari lahir khusus untuk Nabi Muhammad S.a.w. ini merupakan tradisi ummat Islam, sekali lagi “tradisi umat Islam”, terutama umat Islam di Indonesia.

Banyak orang beranggapan bahwa muludan ini merupakan syari’at Islam yang wajib dilaksanakan. Lalu ada lagi yang beranggapan bahwa memperingati muludan itu adalah merupakan kesunahan.
Mereka memandang dengan memperingati hari lahirnya adalah merupakan implementasi dari rasa cinta kepada Rasulullah, seperti orang tua yang memperingati Hari Ulang Tahun anaknya, begitupun sebaliknya. Padahal mencintai itu tidak harus mengingat hari lahirnya.
Seperti, orang tua akan merasa dicintai ketika anak mereka menuruti perintah orang tuanya, daripada hanya mengucapkan dan memberi kado ultah buat mereka. Mereka tidak suka jika hari ulang tahunnya dinodai dengan sesuatu yang tidak ia sukai.
Rasulullah S.a.w. adalah manusia yang hidup dengan penuh kesederhanaan, tidak berfoya-foya. Hal ini tidak sejalan dengan praktik yang sering terjadi pada peringatan acara muludan, seperti hiburan-hiburan, sekatenan, pawai dengan menghias kendaraan, menyajikan makanan dalam bentuk “panjang” (yang setelah berakhirnya acara panjang beserta perangkatnya berserakan dimana-mana, tidak bermanfaat) dan masih banyak lagi yang nilai manfaatnya lebih kecil ketimbang mudharatnya. Dan semua itu jauh dari nilai-nilai Kerasulan.
Sebagaimana dalam doanya, Rasulullah S.a.w. memohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Hakim). Lalu, apakah benar acara muludan yang identik dengan kemewahan dan kesenangan itu sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah S.a.w.?
Sejarah Muludan
Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad S.a.w. pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The Crusade.
Pada tahun 1099 M. Tentera salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politik memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan.
Sultan Salahuddin al-Ayyubi orang Eropa menyebutnya Saladin yang memerintah dinasti bani Ayyub pada tahun 1174 – 1193 M. atau 570 – 590 H. Kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan
Semenanjung Arabia. Sultan Salahuddin dalam rangka menumbuhkan semangat juang umat Islam pada saat itu mengimbau kepada umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad S.a.w., 12 Rabiul Awal kalender Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.
Solahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik.
Masyarakat dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain) sebagai petanda memeluk Islam. Mereka menyebutnya dengan sekaten, dari kata syahadatain.
Kehidupan Rasulullah, Cikal-bakal Sejarah Pemikiran Tasawuf
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad S.a.w. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam kehidupan Rasul s.a.w., sebelum diangkat menjadi rasul.
Sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira, terutama di bulan Ramadhan. Di sana Nabi S.a.w banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah S.W.T. Pengasingan diri Nabi S.a.w di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.
Peri kehidupan (sirah) Nabi saw. juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi saw. yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, “Manusia manakah yang terbaik?” Para sahabat menjawab, “Orang kaya harta dan menunaikan hak Allah pada diri dan hartanya.”
Maka Nabi saw. berkata, “Sungguh itu pun orang baik, tapi bukan itu maksudnya. Manusia terbaik adalah seorang fakir yang memberikan tenaganya di jalan Allah.”
Pada suatu waktu Nabi s.a.w. datang ke rumah istrinya, Aishah binti Abu Bakar as-Shiddiq. Ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).
Dalam kaitan ini, Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8 Desember 1956), seorang sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis di dalam bukunya, Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang dilakukan oleh Nabi saw. bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah, dan ini banyak diikuti oleh tokoh-tokoh sufi.
Selain banyak melakukan shalat, Nabi saw. banyak berzikir. Ia berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali.” (HR. at-Tabrani). Selain itu Nabi S.a.w. banyak pula melakukan i’tikaf dalam masjid, terutama dalam bulan Ramadhan.
Pernah suatu hari karena sudah tenggelam dalam bermunajat kepada Tuhan, ia pernah lupa dengan Aishah. Hal ini pernah diterangkan dalam hadis yang populer dalam tasawuf.
Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa nabi s.a.w. Saat didatangi istrinya Aisyah dalam khalwatnya, Ia bertanya: “Siapakah engkau?” Aishah menjawab: “Saya Aisyah.” Nabi S.a.w bertanya pula: “Siapa Aishah?” Aishah menjawab: “Anak as-Siddiq.” Nabi S.a.w bertanya lagi: “Siapa as-Siddiq?” Aishah menjawab: “Abu Bakar.” Nabi S.a.w bertanya lagi: “Siapa Abu Bakar?”
Selanjutnya Aisyah tidak mau menyahut lagi. Ia sudah tahu bahwa suami tercintanya sedang tenggelam dalam bermunajat kepada Allah S.W.T.
Nah, hadis-hadis dalam bentuk cerita di atas merupakan cikal-bakal terbentuknya tasawuf yang berkembang hingga saat modern sekarang ini.
Muludan dalam Perspektif Tasawuf
Setelah kita pahami pengertian “Muludan” sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, perlu juga kiranya penulis uraikan mengenai pengertian “Tasawuf” (Baca Tasawuf Islam, pen.).
Tasawuf mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai kepada maqam yang tinggi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Tasawuf” adalah ajaran (cara dsb) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya. Maka dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa “Tasawuf” merupakan nama lain dari “takwa”.
Sudah menjadi tradisi ritual bahwa pada setiap perayaan menyambut Maulid Nabi (baca Muludan), penulis menyaksikan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan kehidupan Rasulullah S.a.w. Terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar’i, indera maupun akal.
Mereka bersenandung shalawat-shalawat atau puji-pujian yang di dalamnya mengandung pengkultusan terhadap Nabi Saw. hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungan kepada Allah SWT., kita berlindung kepada Allah dari hal ini.
Di Indonesia, tradisi ini disahkan oleh negara, sehingga pada hari tersebut dijadikan sebagai hari besar dan hari libur nasional. Padahal menurut Syekh Tajudin, ulama besar berhaluan Malikiyah al-Iskandari berpendapat bahwa maulid Nabi merupakan bid’ah mazmumah, menyesatkan.
Pendapat ini berdasar pada pendekatan normatif tekstual, yaitu perayaan maulid Nabi Saw. itu tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam al-Quran dan juga al-Hadis. Penolakan ini ditulisnya dalam kitab al-Murid al-kalam ala amal al-Maulid.
Para ulama Tasawuf dalam meniru dan mengikuti jejak Rasulullah Saw. terutama generasi pertama selalu waspada dan memberikan peringatan terhadap segala penyimpangan dan penyelewengan dari petunjuk Rasulullah Saw.
Al-Junaid sebagaimana dikutip Nabil Hamid al-Muadz (2002: 103) berkata, “Semua jalan bagi manusia sudah buntu, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah Saw. dan mentaati sunnah beliau.”
Daun Nun al-Misry berkata, “Di antara tanda cinta kepada Allah Swt. adalah mengikuti sosok yang dicintai yaitu Rasulullah Saw. dalam hal akhlak, perbuatan, perintah, dan sunnahnya.”
Abu Sulaiman ad-Darani, salah seorang sufi berkata, “Berapa banyak isyarat dan firasat tentang suatu kaum berdesir dalam hatiku setiap waktunya. Namun aku tak pernah menggubrisnya kecuali yang berlandaskan dua saksi adil, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah.
Rasulullah Saw. melarang kepada umatnya untuk berbuat sombong dan riya’. Apapun bentuknya sombong dan raya’ itu adalah dua sifat yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-nya, karena kedua sifat itu merupakan unsur “syaithani”, ingat bagaimana sikap iblis (bapak moyangnya setan) ketika Allah Swt. menyuruhnya untuk bersujud saat penciptaan Adam as.
Begitupun dengan perayaan muludan yang terjadi selama ini. Sampai saat ini perayaan muludan di tiap daerah yang pernah penulis singgahi hanya itu-itu saja. Mengeluarkan panjang dengan dilengkapi telur hias, uang, nasi kuning, ikan plus sayurnya.
Kemudian setelah acara itu selesai makananan itu berceceran di mana-mana, tidak bermanfaat. Sungguh jauh dari sifat Kerasulan dan kaum sufi.
Mereka berpesta di jalan-jalan, seperti layaknya kaum nasrani yang menyambut natalan. Di Kota Serang, di mana penulis tinggal, bagi orang-orang kaya, dalam menyambut muludan ini mereka menghias kendaraannya dengan berbagai hiasan biar kelihatan mewah. Apakah ini bukan merupakan sikap sombong?
Akhirnya menutup tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk lebih berhati-hati menghadapi kehidupan dunia dan seisinya Hidup sederhana bukan berarti hidup kekurangan.
Rasulullah Saw. adalah sosok manusia sempurna: pemimpin umat, penguasa jazirah Arab, bahkan Allah Swt. telah menjamin surganya untuknya.
Dengan status yang sedemikian tinggi dan terhormat, sesungguhnya apa yang diinginkan Rasulullah, tentu tak sulit untuk dikabulkan, baik oleh Allah Swt. maupun umatnya.
Namun, Ia tak pernah silau dengan kenikmatan duniawi. Nabi Saw. lebih memilih kehidupan yang sederhana. Hal itu tercermin dari jawaban Rasulullah ketika Allah Swt., menawarkan “gunung emas” kepadanya.
”Tidak, ya Tuhanku, lebih baik aku lapar sehari, dan kenyang sehari. Bila kenyang, aku bersyukur memuji dan memuja-Mu, dan jika lapar aku akan meratap berdoa kepada-Mu.”
Demikian catatan revisi (Jum’at, 5/9/2025), wallahu a’lam bishawab.
Leave a Reply