Gerhana Bulan dan Kepergian Guru Umat : Mengenang Prof. Dr. KH. MA. Tihami, MA., MM.

Oleh: Endang Yusro

Malam Senin (Ahad, 7/9/2025) ba’da shalat Isya membagikan flyer pelaksanaan shalat khusuf (gerhana bulan) berjamaah yang rencananya dilaksanakan pada jam 22:00 di Masjid Bilal, Masjid Perguruan Muhammadiyah Kaujon Kota Serang. Begitu informasi yang tertera pada flyer.

Setelah berbagi flyer ke beberapa GWA mengingatkan penulis akan meninggalnya sosok yang menjadi panutan warga Banten, Prof. Dr. K.H. M.A. Tihami, MA, MM.

Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Periode 2004-2010 ini meninggal pada usia 74 tahun pada Jum’at 5 September 2025 M. Bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1447 H. bertepatan juga dengan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Kematiannya yang fenomenal dengan beberapa kejadian alam, jika saja Islam membolehkan mengaitkannya, maka penulis akan mengaminkannya.

Namun Rasulullah Saw. melarang akan hal itu. Fenomena alam dan kematian tidak memiliki hubungan kausalitas, melainkan merupakan kehendak Allah SWT semata.

Peristiwa alam seperti gerhana tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, dan mengaitkannya dapat menjadi bentuk syirik (menyekutukan Allah) yang dilarang.

Sejalan dengan hal tersebut, Rasulullah Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersabda bahwa gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang.

Sementara Abu Mas’ud r.a. meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, “Gerhana matahari dan bulan tidaklah karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya merupakan dua dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Jika kalian melihatnya, maka shalatlah,” (HR Bukhari dan Muslim).

Namun demikian Almarhum bagi penulis adalah sosok guru teladan, manusia pilihan yang Allah turunkan di Bumi Para Jawara, Banten.

Seorang profesionalisme dengan bukti legalitas di bidang fiqih dan antropologi, menguasai berbagai bidang disiplin ilmu.

Ketawaduan dan keikhlasan serta menguasai yurisprudensi muslim (Hukum Islam) gelar kiai layak disematkan padanya.

Namun baginya tidak memikirkan hal tersebut, seolah mengatakan biarlah jama’ah saja yang memberi label itu. Hal ini mengingatkan penulis pada Quraish Shihab, seorang profesional, kiai, dan malah seorang habib yang enggan menyandingkan dengan nama pemberian orangtuanya.

Selamat jalan Guruku, Orang Tuaku, Panutanku, Prof. Dr. K.H. AM. Tihami, M.A., M.M. Allahumagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *